Kamis, 29 Maret 2012

Titik Balik Desentralisasi Evaluasi Penyelenggaraan Otonomi Daerah Pasca UU No. 32 Tahun 2004

Penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia telah mengalami lompatan tajam dari sentralisasi menjadi desentralisasi, seiring diberlakukannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun sayangnya, kelahiran UU ini tidaklah didasarkan pada kehendak politik (political will) yang tulus dari pemerintah, melainkan hanya sebagai respon untuk meredam munculnya tuntutan dari beberapa bagian wilayah Indonesia yang hendak memisahkan diri dari NKRI.
Gelagat pemerintah untuk menarik kembali desentralisasi (resentralisasi) ini terlihat dari tidak seriusnya pemerintah dalam menangani persoalan yang muncul dalam penyelenggaraan desentralisasi, misalnya menyangkut koordinasi antar pemerintahan daerah, yang mengakibatkan disharmonisasi hubungan antara pemerintah Kabupaten/Kota dengan Propinsi. Pemerintah Kabupaten/Kota berjalan sendiri-sendiri dan tidak lagi “patuh” pada propinsi, karena ia merasa bukan lagi menjadi bawahan dari Gubernur. Kondisi ini dibiarkan saja oleh pemerintah pusat, bahkan justru dijadikan sebagai alasan untuk menunjukkan bahwa penyelenggaraan desentralisasi berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 telah mengalami kegagalan. Sehingga kehendak untuk mervisi UU tersebut cukup mendapatkan alasan pembenarnya.
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 telah direvisi, bahkan bisa dikatakan diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004. Jika dilihat dari semangatnya, UU No. 32 Tahun 2004 seolah-olah diarahkan untuk memperkuat otonomi daerah, yakni dengan merevisi penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah dari semula dipilih oleh DPRD kemudian dipilih secara langsung oleh rakyat.
Namun jika diteliti lebih mendalam, maka akan ditemukan beberapa semangat untuk menarik kembali desentralisasi dan otonomi daerah. Pertama, dalam UU ini tidak lagi dikenal istilah kewenangan pemerintahan daerah, melainkan diubah menjadi urusan pemerintahan daerah, karena kewenangan memiliki konotasi dengan politis yakni kedaulatan. Sedangkan kata urusan konotasinya hanya pada aspek administratif saja. Kedua, semakin menguatnya pola pengendalian pemerintahan yang hirarkis dari pemerintah desa hingga pemerintah pusat. Meski hal ini dimaksudkan untuk memudahkan koordinasi dan pengawasan, namun hal ini akan semakin mempersempit keleluasaan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan. Ketiga, beberapa peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan dari UU No. 32 Tahun 2004, semakin menunjukkan kepada kita bahwa telah terjadi titik balik desentralisasi. Sebut saja misalnya (1). PP No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan antara Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dan (2). PP No. 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah. Dengan diberlakukannya kedua PP tersebut menandai terpasangnya kembali fondasi pemerintahan sentralistis, yang hendak dibongkar melalui UU No. 22 Tahun 1999. Fenomena pasang surut penyelenggaraan desentralisasi inilah perlu adanya pemetaan kembali perjalanan desentralisasi pasca UU No. 32 Tahun 2004.

sumber : http://ilmupemerintahan.blogspot.com/

Otonomi Daerah dan Anggaran Berbasis Publik

Implementasi otonomi daerah di Indonesia dapat dilihat sebagai sebuah strategi yang memiliki tujuan ganda. Pertama, diberlakukannya otonomi daerah merupakan strategi dalam merespons tuntutan masyarakat di daerah terhadap tiga permasalahan utama, yaitu sharing of powers, distribution of incomes, dan kemandirian sistem manajemen di daerah. Kedua, otonomi daerah dimaksudkan sebagai strategi untuk memperkuat perekonomian daerah dalam memperkokoh perekonomian nasional menuju kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Demikian pula dengan semakin besarnya partisipasi masyarakat, desentralisasi kemudian akan mempengaruhi komponen pemerintahan lainnya, seperti bergesernya orientasi pemerintah dari command and control menjadi berorientasi pada demand (tuntutan) and public needs (kebutuhan public). Orientasi inilah kemudian akan menjadi dasar bagi pelaksanaan peran pemerintah sebagi stimulator, fasilitator, koordinator dan entrepreneur (wirausaha) dalam proses pembagunan.

Oleh karenanya, otonomi daerah akan menjadi formulasi yang tepat apabila diikuti dengan serangkaian perubahan di sektor publik. Dimensi reformasi sektor publik tidak saja sekedar perubahan format institusi, akan tetapi mencakup pembaharuan alat-alat yang digunakan untuk mendukung berjalannya lembaga-lembaga publik tersebut secara ekonomis, efisien, efektif, transparan dan akuntabel sehingga cita-cita mewujudkan good governance benar-benar akan tercapai.

Untuk menciptakan good governance, maka diperlukan reformasi kelembagaan (institutional reform) menyangkut pembenahan seluruh alat-alat pemerintahan di daerah baik suprastuktur maupun infrastrukturnya, yang intinya adalah adanya pemberdayaan masing-masing elemen yang ada di daerah, yaitu masyarakat (stakeholder), pemerintah daerah (executive), dan DPRD (shareholder). Disamping itu, pentinya reformasi manajemen sektor publik (public management reform) terkait dengan perlunya digunakan model manajemen pemerintahan yang baru dan sesuai dengan tuntutan perkembangan jaman.
Manajemen publik baru berfokus pada manajemen sektor publik yang berorientasi pada kinerja bukan pada kebijakan. Hal ini menimbulkan beberapa konsekuensi bagi pemerintahan di daerah, diantaranya adalah perubahan pendekatan dalam pengaggaran (budgeting reform), dimana pengelolaan uang rakyat (public money) dilakukan secara transparan, efesien, rasional dan berkeadilan—termasuk dalam pengertian ini adalah adil secara gender—sehingga tercipta akuntabilitas publik (public accountability). Sedangkan reformasi anggaran (budgeting reform) itu sendiri meliputi proses penyusunan, pengesahan, pelaksanaan dan pertanggung jawaban anggaran.

Dalam kaitannya dengan formasi diatas, perlunya perubahan secara institusional dan manajemen di sektor publik dalam kerangka good governance pada dasarnya untuk mendukung terciptanya optimalisasi pelayanan public (public servant) sesuai dengan tujuan otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab, lebih jauh lagi untuk menyelenggarakan kebijakan pembangunan yang komprehensif, partisipatif, dan berkeadilan.
Salah satu aspek dari pemerintahan daerah yang harus diatur dengan baik dan hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Anggaran daerah merupakan suatu alat perencanaan mengenai pengeluaran dan penerimaan (atau pendapatan) dimasa yang akan datang, umumnya disusun untuk satu tahun. Di samping itu anggaran merupakan alat kontrol atau pengawasan terhadap pengeluaran maupun pendapatan di masa yang akan datang. Sebagai instrumen kebijakan yang utama bagi pemerintah daerah, Anggaran Daerah atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) menduduki posisi sentral (central position) dalam upaya pengembangan kapabilitas dan efektivitas pemerintahan daerah.

Pada hakekatnya, anggaran daerah merupakan salah satu alat untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan rakyat sesuai dengan tujuan dari otonomi daerah itu sendiri. Anggaran daerah digunakan sebagai alat untuk menentukan besar pendapatan dan pengeluaran, membantu pengambilan keputusan dan perencanaan pembangunan, otorisasi pengeluaran di masa-masa yang akan datang, sumber pengembangan ukuran-ukuran standar untuk evaluasi kinerja, alat untuk memotivasi para pegawai, dan alat koordinasi bagi semua aktivitas dari berbagai unit kerja. Dalam kaitan ini, proses penyusunan dan pelaksanaan anggaran hendaknya difokuskan pada upaya untuk mendukung pelaksanaan aktivitas atau program yang menjadi prioritas dan preferensi daerah.
Untuk mewujudkan anggaran daerah yang berorientasi pada kepentingan publik, maka APBD harus disusun dengan pendekatan kinerja (base performance budget), dimana ada keterkaitan yang erat antara pengambil kebijakan di DPRD dengan perencanaan operasional oleh Pemerintah Daerah dan penganggaran oleh Unit Kerja, serta adanya upaya mensinergikan hubungan antara APBD, sistem dan Prosedur Pengelolaan Keuangan Daerah, Lembaga Pengelola Keuangan Daerah dan Unit-unit Pengelola Layanan Publik dalam pengambilan Kebijakan.

Disamping itu, sebagai sebuah alat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, APBD disusun dengan mengacu pada norma dan prinsip anggaran (World Bank:1998). Norma dan prinsip anggaran tersebut adalah pertama, transparan dan akuntabel. Hal ini sesuai dengan kerangka otonomi daerah dengan mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance) dan bertanggung jawab, dimana diperlukan syarat transparansi dalam penyusunan dan pengelolaan anggaran daerah. Mengingat anggaran merupakan sarana evaluasi pencapaian kinerja dan tanggung jawab pemerintah untuk mensejahterakan masyarakat, maka APBD harus dapat memberikan informasi yang jelas tentang tujuan, sasaran, hasil dan manfaat yang diperoleh masyarakat. Semua alokasi dana yang diperoleh dan penggunannya harus dapat dipertanggungjawabkan.
Kedua
, tentang disiplin anggaran. Anggaran yang disusun harus berdasarkan kebutuhan masyarakat dan tidak boleh mengesampingkan keseimbangan antara pembiayaan dan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat. Ketiga, efisiensi, dan efektifitas anggaran, artinya alokasi dana yang tersedia harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, disusun berlandaskan asas efesiensi, tepat guna, tepat waktu dan dapat menghasilkan peningkatan pelayanan dan kesejahteraan yang berkualitas bagi masyarakat. Keempat, keadilan anggaran, yaitu penggunaan anggaran secara adil untuk kepentingan seluruh kelompok masyarakat, termasuk dalam hal ini adalah adil secara gender.
Sebagai sebuah catatan dari hasil penelitian penulis tahun 2003 – 2006 APBD di beberapa kota/ kabupaten di Jawa Timur masih terkonsentrasi dan digunakan untuk belanja aparatur dibanding digunakan untuk belanja pelayanan publik, prinsip disiplin anggaran masih belum dilakukan terbukti dengan masih adanya duplikasi dalam anggaran pada pos-pos tertentu (misal belanja pegawai, administrasi (perlatan dan barang), dan pemiliharaan), demikian pula anggaran daerah belum berpihak pada rakyat—pada dinas-dinas yang langsung berhubungan dengan kebutuhan rakyat seperti kesehatan, pendidikan, transportasi publik (infrastruktur jalan)—alokasi dananya masih terbatas bahkan bukan prioritas (Jainuri dan Hijri:2006).
Sudah saatnya masyarakat—baik organisasi masyarakat (ormas), mahasiswa, akademisi, LSM, dll—sebagai pemegang kedaulatan tertinggi juga memegang peranannya, paling tidak ikut berpartisipasi aktif—bersama DPRD dan pemerintah—dalam menyusun distribusi dan alokasi APBD (baca:partisipatory budget) agar tidak terjadi praktek kolusi, korupsi atau pun nepotisme yang selama ini hadir di tengah-tengah kita, adapun dalam implementasinya masyarakat harus tetap menggunakan fungsi pengawasannya, bahkan terbuka lebar untuk mengkritisi sekaligus mengkoreksinya untuk menimalisir terjadinya penyelewengan oleh aparatur pemerintahan.

Daftar Bacaan
Esden, Bootes, 2002, Indonesia Rising Above Challenges, Sourcebook on Decentralization Indonesia Asia, Asia Foundation, IRDA.

Karim, Abdul Gaffar (Ed), 2003, Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah di Indonesia, Pustaka Pelajar bekerjasama dengan Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UGM, Yogyakarta.
Liang Gie, The, 1968, Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Jilid III, Gunung Agung, Jakarta.
Mardiasmo, 2002, Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah, Penerbit Andi, Yogyakarta.
Suparmoko, 2002, Ekonomi Publik Untuk Keuangan dan Pembangunan Daerah, Penerbit Andi, Yogyakarta.
The Building Institution for Good Governance, 2001, Edisi 3.
______________, ICMA dan USAID, 2004, Pelatihan Pelatih Penyusunan Anggaran Kinerja Daerah Propinsi Jawa Timur.
Undang-undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, 2004, Citra Umbara, Bandung.
World Bank, 1998, World Development Report 1998-The State Indonesia a Changing World, Washington DC: World Bank (http://www.worldbank.org/data/ country data/country data.html).
Jurnal Ilmu Pemerintahan Widyapraja, Vol. XXVIII No. 3 Tahun 2002, Institut Ilmu Pemerintahan, Jakarta. 

sumber : http://ilmupemerintahan.blogspot.com/

REFORMASI MEI 1998, WAJAH BARU ORDE BARU

Pasca tahun 1998, Mei menjadi bulan yang bersejarah bagi bangsa Indonesia, karena bulan itu merupakan gerakan reformasi yang menumbangkan kekuasaan otoriter Soeharto. Sampai saat ini kata reformasi menjadi populer dikalangan masyarakat dan birokrasi Indonesia. Reformasi lah yang dianggap sebagai kata kunci untuk memperbaiki tatanan bangsa menuju bangsa yang sejahterah, bersih, berwibawa, dan demokratis. Dibawa reformasi muncul sejumlah istilah baru diantaranya, Good Governance, Reinventing Governtment, Desentralisasi, The New Public Manajement, Good Coorporate Governance, Civil Society, Coorporate Sosial Responsibility. Sejumlah istilah tersebut adalah Suport System untuk percepatan agenda reformasi. Pertanyaannya, reformasi sudah berjalan satu dasawarsa lebih sudah sampai manakah? Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis membagi reformasi kedalam tiga bentuk, diantaranya : reformasi prosedural, reformasi struktural, dan reformasi kultural, dengan demikian kita dapat menjawab pertanyaan diatas dan dapat memetakkan apakah reformasi Indonesia pasca tahun 1998 telah mewujudkan ketiga atau beberapa reformasi itu.
Reformasi Prosedural, adalah tuntutan untuk melakukan perubahan pada tataran normatif atau aturan perundang-undangan dari yang berbentuk otoriter menuju aturan demokratis. Undang- Undang yang mengatur bidang politik harus menjamin adanya ruang kebebasan bagi masyarakat untuk melakukan aktifitas politik. Undang- Undang yang mengatur bidang sosial budaya harus memberikan kesempatan masyarakat untuk membentuk kelompok sosial sebagai ekspresi kolektif dari identitas masing- masing. Undang-undang yang mengatur bidang ekonomi harus melindungi kepentingan masyarakat umum (ekonomi kerakyatan) bukan pengusaha dan penguasa. Begitulah kira- kira gambaran umum arah reformasi prosedural. Pada konteks ini, hemat penulis , Indonesia dapat dikatakan telah menjalankan reformasi prosedural itu. Pasca tahun 1998, peraturan perundang- undangan telah banyak dirubah bahkan peraturan yang mendasari berdirinya Republik Indonesia yaitu Undang-Undang Dasar 1945 sudah empat kali dilakukan perubahan (amandemen).
Undang-Undang No 5 Tahun 1974 tentang pokok-pokok pemerintah daerah yang dinilai sentralistik telah dirubah menjadi Undang-Undang 22 Tahun 1999 dan dirubah lagi menjadi Undang-undang No 32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah yang menjunjung tinggi asas demokrasi yaitu dengan adanya desentralisasi kekuasaan dan kewenangan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Pembahasan perubahan kesemua undang-undang tidak mungkin dibahas pada tulisan ini. Setidaknya dalam era reformasi ini secara prosedural terbersit harapan adanya repositioning pola relasi antara masyarakat dan negara, seperti yang dicatat oleh Lukman Hakim dalam bukunya yang berjudul Revolusi Sistemik (2003:196) di era reformasi, negara telah memberi kesempatan seluas mungkin kepada rakyat untuk melakukan usaha-usaha produktif guna memperkuat posisi tawarnya terhadap negara.Pertanyaannya, rakyat yang mana yang dapat merasakan reformasi prosedural itu? Rakyat, menurut Gramsci ada tiga model yakni rakyat kapital, rakyat politik kolektif, dan rakyat proletar. Hemat penulis, selama ini reformasi prosedural hanya dinikmati oleh rakyat kapital (konglomerat) dan rakyat politik kolektif (Parpol,LSM). Sedangkan rakyat proletar (masyarakat tani dan buruh) hanya menjadi penonton, objek politik, dan bahkan seringkali di eksploitasi oleh politikus, pengusaha, dan penguasa.
Reformasi Struktural, adalah tuntutan perubahan institusional negara dari birokratik menuju birokrasi. Birokratik adalah lembaga negara yang hirarkis, sentralistik dan otoriter. Birokrasi adalah lembaga negara yang responsif, penegak keadilan, transparantif, dan demokratis yang menegakkan istilah-istilah suport system reformasi yang diuaraikan diawal tulisan ini. Terbentuknya sejumlah lembaga non struktural (komisi) menandakan Indonesia telah masuk pada reformasi struktural. Komisi adalah Lembaga ekstra struktural yang memiliki fungsi pengawasan, mengandung unsur pelaksanaan atau bersentuhan langsung dengan masyarakat atau pihak selain instansi pemerintah (lapis primary), biasanya anggota terdiri dari masyarakat atau profesional dan kedudukan sekretariat tidak menempel dengan instansi pemerintah konvensional. Pasca gerakan reformasi 1998 hingga saat ini lembaga non struktural berjumlah 12 komisi, yakni: Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Yudisial, Komisi Hukum Nasional, Komisi Ombudsman, Komisi Nasional HAM, Komisi Kepolisian Negara, Komisi Pengawas Persaingan Usaha, Komisi Penyiaran Nasional, Komisi Pemilihan Umum, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Komisi Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan, Komisi Kejaksaan. Lembaga non struktural tersebut memiliki kewenangan, yakni: meminta bantuan, melakukan kerjasama dan atau koordinasi dengan aparat atau institusi terkait, melakukan pemeriksaan (investigasi), mengajukan pernyataan pendapat, melakukan penyuluhan, melakukan kerjasama dengan perseorangan, LSM, Perguruan Tinggi, Instansi Pemerintah, Memonitor dan mengawasi sesuai dengan bidang tugas, Menyusun dan menyampaikan laporan rutin dan insidentil, Meningkatkan kemampuan dan keterampilan anggota.
Pada umumnya, komisi-komisi tersebut memiliki kewenangan untuk menegakkan keadilan dan membantu masyarakat untuk memonitoring, membina, mengawasi, dan menyelidiki proses kerja lembaga negara, Presiden,MA,MK,DPR,DPD, dan seluruh jajaran birokrasi dibawahnya agar menjalankan tugas dan fungsinya dengan baik sehingga terwujudnya pemerintahan yang bersih dan baik (clean and good governance) yaitu birokrasi yang sanggup menempatkan dirinya sebagai pelayan masyarakat.
Sekilas dengan adanya reformasi struktural yang demikian menyimpan harapan besar untuk membangun Indonesia dengan baik, namun ternyata harapan itu hanyalah impian karena sisten pemerintahan presidensial yang dianut Negara ini tidak menjamin independensi lembaga non struktural yang disebutkan tadi. Dalam sistem presidensial yang memiliki kekuasaan tertinggi adalah Presiden, DPR, dan DPD. Buktinya, komisi- komisi yang ada adalah diangkat dan diberhentikan oleh Presiden bersama DPR dan DPD. Pada konteks ini, penulis pesimis komisi – komisi tadi bisa melakukan pengawasan dan penyelidikan dengan adil kepada lembaga yang membentuk dan mengangkat mereka. Kepesimisan penulis terbukti dengan banyaknya penyelewengan kekuasaan yang dilakukan oleh lembaga negara namun tidak ada kejelasan penyelesaian persoalannya. Kalaupun ada hanyalah kasus-kasus kecil sebagai bentuk hegemonik untuk mengatakan Indonesia adalah negara hukum dan demokratis.
Reformasi Kultural, adalah tuntutan untuk melakukan perubahan pola pikir, cara pandang, dan budaya seluruh elemen bangsa untuk menerima segala perubahan menuju bangsa yang lebih baik. Reformasi kultural merupakan kata kunci untuk mewujudkan agenda reformasi prosedural dan struktural yang dijelaskan di atas. Tanpa adanya reformasi kultural, reformasi prosedural dan struktural hanyalah sebuah simbol yang tidak memiliki makna apa-apa. Diandaikan sebuah komputer, reformasi prosedural dan kultural adalah hadwernya, reformasi kultural adalah sofwernya. Hadwer tanpa sofwer itu bukan dikatakan komputer yang baik.
Inilah yang menjadi persoalan besar reformasi Mei 1998 yang sudah berjalan satu dasawarsa lebih tidak berjalan dengan baik, bahkan menjadi lebih buruk sebelum terjadinya gerakan reformasi, korupsi semakin terbuka dan menggurita hingga ke jajaran pemerintah daerah propinsi, kabupaten/kota, kecamatan, dan desa, mafia hukum semakin merajalela, penggelapan pajak semakin tidak terbatas, berkuasanya politikus-politikus hitam yang setiap saat menjual suara rakyat, banyaknya partai politik yang melahirkan generasi bangsa yang tidak bertanggung jawab, gerakan sosial (LSM) semakin oportunis yang seringkali berselingkuh dengan penguasa dan pengusaha, gerakan mahasiswa semakin tidak tertata dengan baik bahkan mengarah pada gerakan bayaran, masyarakat semakin tidak percaya dengan institusi dan pemerintahan. Itu semua disebabkan karena reformasi yang terjadi hanya sebatas struktural dan prosedural, sedangkan reformasi kultural masih dibawah bayang-bayang yang tidak menentu. Ironisnya, yang mengisi reformasi prosedural dan struktural adalah kultur lama yang masih memiliki pola pikir dan cara pandang penguasa otoriter orde baru dan bahkan pola pikir kolonial belanda.
Amien Raias (2001) salah satu pelopor gerakan reformasi mengatakan ada empat kelemahan reformasi: Pertama, reformasi demokrasi kita belum berhasil mengembangkan moral politik bangsa untuk menjadi lebih dewasa, matang, serta memiliki civic competence. Kedua, proses reformasi dan demokratisasi kita belum berhasil menciptakan pemerintahan yang bersih (clean governance) serta efesiensi dan efektif (the new public manajement). Ketiga, reformasi politik dan demokratisasi belum mampu menghasilkan pembangunan ekonomi yang mensejahterakan rakyat. Keempat, reformasi belum mampu mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap institusi (birokrasi).
Apa yang harus dilakukan untuk mengarahkan reformasi menuju yang lebih baik. Apakah kita harus tinggal diam hanya menonton drama elit politik. Apakah mungkin suport system reformasi yang diuraikan pada awal tulisan ini dapat berjalan dengan baik ditengah ketiadaan sofwer reformasi. Reformasi apa lagi yang harus kita lakukan, reformasi tahap kedua, tahap ketiga, tahap keempat. Reformasi apapun hanyalah reformasi bukan kesejahteraan dan kedamaian bangsa. Semua ini menjadi bahan renungan kita bersama untuk berfikir dan bertindak menuju yang lebih baik.
sumber : http://ilmupemerintahan.blogspot.com/

Sistem Pemerintahan Indonesia

Sistem Pemerintahan
Sistem berarti suatu keseluruhan yang terdiri atas beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional.
Pemerintahan dalam arti luas adalah pemerintah/ lembaga-lembaga Negara yang menjalankan segala tugas pemerintah baik sebagai lembaga eksekutif, legislative maupun yudikatif.
# Pengelompokkan system pemerintahan:
  1. system pemerintahan Presidensial
merupakan system pemerintahan di mana kepala pemerintahan dipegang oleh presiden dan pemerintah tidak bertanggung jawab kepada parlemen (legislative). Menteri bertanggung jawab kepada presiden karena presiden berkedudukan sebagai kepala Negara sekaligus kepala pemerintahan.
Contoh Negara: AS, Pakistan, Argentina, Filiphina, Indonesia.
Ciri-ciri system pemerintahan Presidensial:
1. Pemerintahan Presidensial didasarkan pada prinsip pemisahan kekuasaan.
2. Eksekutif tidak mempunyai kekuasaan untuk menyatu dengan Legislatif.
3. Kabinet bertanggung jawab kepada presiden.
4. eksekutif dipilih melalui pemilu.
  1. system pemerintahan Parlementer
merupakan suatu system pemerintahan di mana pemerintah (eksekutif) bertanggung jawab kepada parlemen. Dalam system pemerintahan ini, parlemen mempunyai kekuasaan yang besar dan mempunyai kewenangan untuk melakukan pengawasan terhadap eksekutif. Menteri dan perdana menteri bertanggung jawab kepada parlemen.
Contoh Negara: Kerajaan Inggris, Belanda, India, Australia, Malaysia.
Ciri-ciri dan syarat system pemerintahan Parlementer:
1.Pemerintahan Parlementer didasarkan pada prinsip pembagian kekuasaan.
2.Adanya tanggung jawab yang saling menguntungkan antara legislatif dengan eksekutif, dan antara presiden dan kabinet.
3.Eksekutif dipilih oleh kepala pemerintahan dengan persetujuan legislatif.
  1. system pemerintahan Campuran
dalam system pemerintahan ini diambil hal-hal yang terbaik dari system pemerintahan Presidensial dan system pemerintahan Parlemen. Selain memiliki presiden sebagai kepala Negara, juga memiliki perdana menteri sebagai kepala pemerintahan.
Contoh Negara: Perancis.
# Pelaksanaan Sistem Pemerintahan Negara Indonesia
  1. Tahun 1945 – 1949
Terjadi penyimpangan dari ketentuan UUD ’45 antara lain:
    1. Berubah fungsi komite nasional Indonesia pusat dari pembantu presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan GBHN yang merupakan wewenang MPR.
    2. Terjadinya perubahan sistem kabinet presidensial menjadi kabinet parlementer berdasarkan usul BP – KNIP.
  1. Tahun 1949 – 1950
Didasarkan pada konstitusi RIS. Pemerintahan yang diterapkan saat itu adalah system parlementer cabinet semu (Quasy Parlementary). Sistem Pemerintahan yang dianut pada masa konstitusi RIS bukan cabinet parlementer murni karena dalam system parlementer murni, parlemen mempunyai kedudukan yang sangat menentukan terhadap kekuasaan pemerintah.
  1. Tahun 1950 – 1959
Landasannya adalah UUD ’50 pengganti konstitusi RIS ’49. Sistem Pemerintahan yang dianut adalah parlementer cabinet dengan demokrasi liberal yang masih bersifat semu. Ciri-ciri:
    1. presiden dan wakil presiden tidak dapat diganggu gugat.
    2. Menteri bertanggung jawab atas kebijakan pemerintahan.
    3. Presiden berhak membubarkan DPR.
    4. Perdana Menteri diangkat oleh Presiden.
  1. Tahun 1959 – 1966 (Demokrasi Terpimpin)
Presiden mempunyai kekuasaan mutlak dan dijadikannya alat untuk melenyapkan kekuasaan-kekuasaan yang menghalanginya sehingga nasib parpol ditentukan oleh presiden (10 parpol yang diakui). Tidak ada kebebasan mengeluarkan pendapat.
  1. Tahun 1966 – 1998
Orde baru pimpinan Soeharto lahir dengan tekad untuk melakukan koreksi terpimpin pada era orde lama. Namun lama kelamaan banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan. Soeharto mundur pada 21 Mei ’98.
  1. Tahun 1998 – Sekarang (Reformasi)
Pelaksanaan demokrasi pancasila pada era reformasi telah banyak memberikan ruang gerak pada parpol maupun DPR untuk mengawasi pemerintah secara kritis dan dibenarkan untuk unjuk rasa.
# Sistem Pemerintahan menurut UUD ’45 sebelum diamandemen:
ØKekuasaan tertinggi diberikan rakyat kepada MPR.
ØDPR sebagai pembuat UU.
ØPresiden sebagai penyelenggara pemerintahan.
ØDPA sebagai pemberi saran kepada pemerintahan.
ØMA sebagai lembaga pengadilan dan penguji aturan.
ØBPK pengaudit keuangan.
# Sistem Pemerintahan setelah amandemen (1999 – 2002)
ØMPR bukan lembaga tertinggi lagi.
ØKomposisi MPR terdiri atas seluruh anggota DPR ditambah DPD yang dipilih oleh rakyat.
ØPresiden dan wakil Presiden dipilih langsung oleh rakyat.
ØPresiden tidak dapat membubarkan DPR.
ØKekuasaan Legislatif lebih dominan.
# Perbandingan SisPem Indonesia dengan SisPem Negara Lain
Berdasarkan penjelasan UUD ’45, Indonesia menganut sistem Presidensia. Tapi dalam praktiknya banyak elemen-elemen Sistem Pemerintahan Parlementer. Jadi dapat dikatakan Sistem Pemerintahan Indonesia adalah perpaduan antara Presidensial dan Parlementer.
# kelebihan Sistem Pemerintahan Indonesia
ØPresiden dan menteri selama masa jabatannya tidak dapat dijatuhkan DPR.
ØPemerintah punya waktu untuk menjalankan programnya dengan tidak dibayangi krisis kabinet.
ØPresiden tidak dapat memberlakukan dan atau membubarkan DPR.
# Kelemahan Sistem Pemerintahan Indonesia
ØAda kecenderungan terlalu kuatnya otoritas dan konsentrasi kekuasaan di tangan Presiden.
ØSering terjadinya pergantian para pejabat karena adanya hak perogatif presiden.
ØPengawasan rakyat terhadap pemerintah kurang berpengaruh.
ØPengaruh rakyat terhadap kebijaksanaan politik kurang mendapat perhatian.
# Perbedaan Sistem Pemerintahan Indonesia dan Sistem Pemerintahan Malaysia
  1. Badan Eksekutif
a.Badan Eksekutif Malaysia terletak pada Perdana Menteri sebagai penggerak pemerintahan negara.
b.Badan Eksekutif Indonesia terletak pada Presiden yang mempunyai 2 kedudukan sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
  1. Badan Legislatif
a.Di Malaysia ada 2 Dewan Utama dalam badan perundangan yaitu Dewan Negara dan Dewan Rakyat yang perannyan membuat undang-undang.
b.Di Indonesia berada di tangan DPR yang perannya membuat undang-undang dengan persetujuan Presiden.

sumber : http://khazanna032.wordpress.com/2009/05/13/sistem-pemerintahan-indonesia/

Selasa, 27 Maret 2012

aneka ragam budaya indonesia

Pendahuluan

Keragaman budaya atau “cultural diversity” adalah keniscayaan yang ada di bumi Indonesia. Keragaman budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Dalam konteks pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan kelompok sukubangsa, masyarakat Indonesia juga terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari berbagai kebudayaan kelompok sukubangsa yang ada didaerah tersebut. Dengan jumlah penduduk 200 juta orang dimana mereka tinggal tersebar dipulau- pulau di Indonesia. Mereka juga mendiami dalam wilayah dengan kondisi geografis yang bervariasi. Mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir, dataran rendah, pedesaan, hingga perkotaan. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat peradaban kelompok-kelompok sukubangsa dan masyarakat di Indonesia yang berbeda. Pertemuan-pertemuan dengan kebudayaan luar juga mempengaruhi proses asimilasi kebudayaan yang ada di Indonesia sehingga menambah ragamnya jenis kebudayaan yang ada di Indonesia. Kemudian juga berkembang dan meluasnya agama-agama besar di Indonesia turut mendukung perkembangan kebudayaan Indonesia sehingga memcerminkan kebudayaan agama tertentu. Bisa dikatakan bahwa Indonesia adalah salah satu negara dengan tingkat keaneragaman budaya atau tingkat heterogenitasnya yang tinggi. Tidak saja keanekaragaman budaya kelompok sukubangsa namun juga keanekaragaman budaya dalam konteks peradaban, tradsional hingga ke modern, dan kewilayahan.
Dengan keanekaragaman kebudayaannya Indonesia dapat dikatakan mempunyai keunggulan dibandingkan dengan negara lainnya. Indonesia mempunyai potret kebudayaan yang lengkap dan bervariasi. Dan tak kalah pentingnya, secara sosial budaya dan politik masyarakat Indonesia mempunyai jalinan sejarah dinamika interaksi antar kebudayaan yang dirangkai sejak dulu. Interaksi antar kebudayaan dijalin tidak hanya meliputi antar kelompok sukubangsa yang berbeda, namun juga meliputi antar peradaban yang ada di dunia. Labuhnya kapal-kapal Portugis di Banten pada abad pertengahan misalnya telah membuka diri Indonesia pada lingkup pergaulan dunia internasional pada saat itu. Hubungan antar pedagang gujarat dan pesisir jawa juga memberikan arti yang penting dalam membangun interaksi antar peradaban yang ada di Indonesia. Singgungan-singgungan peradaban ini pada dasarnya telah membangun daya elasitas bangsa Indonesia dalam berinteraksi dengan perbedaan. Disisi yang lain bangsa Indonesia juga mampu menelisik dan mengembangkan budaya lokal ditengah-tengah singgungan antar peradaban itu.

Bukti Sejarah

Sejarah membuktikan bahwa kebudayaan di Indonesia mampu hidup secara berdampingan, saling mengisi, dan ataupun berjalan secara paralel. Misalnya kebudayaan kraton atau kerajaan yang berdiri sejalan secara paralel dengan kebudayaan berburu meramu kelompok masyarakat tertentu. Dalam konteks kekinian dapat kita temui bagaimana kebudayaan masyarakat urban dapat berjalan paralel dengan kebudayaan rural atau pedesaan, bahkan dengan kebudayaan berburu meramu yang hidup jauh terpencil. Hubungan-hubungan antar kebudayaan tersebut dapat berjalan terjalin dalam bingkai ”Bhinneka Tunggal Ika” , dimana bisa kita maknai bahwa konteks keanekaragamannya bukan hanya mengacu kepada keanekaragaman kelompok sukubangsa semata namun kepada konteks kebudayaan.
Didasari pula bahwa dengan jumlah kelompok sukubangsa kurang lebih 700’an sukubangsa di seluruh nusantara, dengan berbagai tipe kelompok masyarakat yang beragam, serta keragaman agamanya, masyarakat Indonesia adalah masyarakat majemuk yang sesungguhnya rapuh. Rapuh dalam artian dengan keragaman perbedaan yang dimilikinya maka potensi konflik yang dipunyainya juga akan semakin tajam. Perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat akan menjadi pendorong untuk memperkuat isu konflik yang muncul di tengah-tengah masyarakat dimana sebenarnya konflik itu muncul dari isu-isu lain yang tidak berkenaan dengan keragaman kebudayaan. Seperti kasus-kasus konflik yang muncul di Indonesia dimana dinyatakan sebagai kasus konflik agama dan sukubangsa. Padahal kenyataannya konflik-konflik tersebut didominsi oleh isu-isu lain yang lebih bersifat politik dan ekonomi. Memang tidak ada penyebab yang tunggal dalam kasus konflik yang ada di Indonesia. Namun beberapa kasus konflik yang ada di Indonesia mulai memunculkan pertanyaan tentang keanekaragaman yang kita miliki dan bagaimana seharusnya mengelolanya dengan benar.

Peran pemerintah: penjaga keanekaragaman
Sesungguhnya peran pemerintah dalam konteks menjaga keanekaragaman kebudayaan adalah sangat penting. Dalam konteks ini pemerintah berfungsi sebagai pengayom dan pelindung bagi warganya, sekaligus sebagai penjaga tata hubungan interaksi antar kelompok-kelompok kebudayaan yang ada di Indonesia. Namun sayangnya pemerintah yang kita anggap sebagai pengayom dan pelindung, dilain sisi ternyata tidak mampu untuk memberikan ruang yang cukup bagi semua kelompok-kelompok yang hidup di Indonesia. Misalnya bagaimana pemerintah dulunya tidak memberikan ruang bagi kelompok-kelompok sukubangsa asli minoritas untuk berkembang sesuai dengan kebudayaannya. Kebudayaan-kebudayaan yang berkembang sesuai dengan sukubangsa ternyata tidak dianggap serius oleh pemerintah. Kebudayaan-kebudayaan kelompok sukubangsa minoritas tersebut telah tergantikan oleh kebudayaan daerah dominant setempat, sehingga membuat kebudayaan kelompok sukubangsa asli minoritas menjadi tersingkir. Contoh lain yang cukup menonjol adalah bagaimana misalnya karya-karya seni hasil kebudayaan dulunya dipandang dalam prespektif kepentingan pemerintah. Pemerintah menentukan baik buruknya suatu produk kebudayaan berdasarkan kepentingannya. Implikasi yang kuat dari politik kebudayaan yang dilakukan pada masa lalu (masa Orde Baru) adalah penyeragaman kebudayaan untuk menjadi “Indonesia”. Dalam artian bukan menghargai perbedaan yang tumbuh dan berkembang secara natural, namun dimatikan sedemikian rupa untuk menjadi sama dengan identitas kebudayaan yang disebut sebagai ”kebudayaan nasional Indonesia”. Dalam konteks ini proses penyeragaman kebudayaan kemudian menyebabkan kebudayaan yang berkembang di masyarakat, termasuk didalamnya kebudayaan kelompok sukubangsa asli dan kelompok marginal, menjadi terbelakang dan tersudut. Seperti misalnya dengan penyeragaman bentuk birokrasi yang ada ditingkat desa untuk semua daerah di Indonesia sesuai dengan bentuk desa yang ada di Jawa sehingga menyebabkan hilangnya otoritas adat yang ada dalam kebudayaan daerah.
Tidak dipungkiri proses peminggiran kebudayaan kelompok yang terjadi diatas tidak lepas dengan konsep yang disebut sebagai kebudayaan nasional, dimana ini juga berkaitan dengan arah politik kebudayaan nasional ketika itu. Keberadaan kebudayaan nasional sesungguhnya adalah suatu konsep yang sifatnya umum dan biasa ada dalam konteks sejarah negara modern dimana ia digunakan oleh negara untuk memperkuat rasa kebersamaan masyarakatnya yang beragam dan berasal dari latar belakang kebudayaan yang berbeda. Akan tetapi dalam perjalanannya, pemerintah kemudian memperkuat batas-batas kebudayaan nasionalnya dengan menggunakan kekuatan-kekuatan politik, ekonomi, dan militer yang dimilikinya. Keadaan ini terjadi berkaitan dengan gagasan yang melihat bahwa usaha-usaha untuk membentuk suatu kebudayaan nasional adalah juga suatu upaya untuk mencari letigimasi ideologi demi memantapkan peran pemerintah dihadapan warganya. Tidak mengherankan kemudian, jika yang nampak dipermukaan adalah gejala bagaimana pemerintah menggunakan segala daya upaya kekuatan politik dan pendekatan kekuasaannya untuk ”mematikan” kebudayaan-kebudayaan local yang ada didaerah atau kelompok-kelompok pinggiran, dimana kebudayaan-kebudayaan tersebut dianggap tidak sesuai dengan kebudayaan nasional.
Setelah reformasi 1998, muncul kesadaran baru tentang bagaimana menyikapi perbedaan dan keanekaragaman yang dimiliki oleh bangsa Indonesia. Yaitu kesadaran untuk membangun masyarakat Indonesia yang sifatnya multibudaya, dimana acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multibudaya adalah multibudayaisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Suparlan,1999). Dalam model multikultural ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai mempunyai sebuah kebudayaan yang berlaku umum dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mosaik. Di dalam mosaik tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat yang lebih kecil yang membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan yang seperti sebuah mosaik tersebut. Model multibudayaisme ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang berbunyi: “kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak-puncak kebudayaan di daerah”.
Sebagai suatu ideologi, multikultural harus didukung dengan sistem infrastuktur demokrasi yang kuat serta didukung oleh kemampuan aparatus pemerintah yang mumpuni karena kunci multibudayaisme adalah kesamaan di depan hukum. Negara dalam hal ini berfungsi sebagai fasilitator sekaligus penjaga pola interaksi antar kebudayaan kelompok untuk tetap seimbang antara kepentingan pusat dan daerah, kuncinya adalah pengelolaan pemerintah pada keseimbangan antara dua titik ekstrim lokalitas dan sentralitas. Seperti misalnya kasus Papua dimana oleh pemerintah dibiarkan menjadi berkembang dengan kebudayaan Papuanya, namun secara ekonomi dilakukan pembagian kue ekonomi yang adil. Dalam konteks waktu, produk atau hasil kebudayaan dapat dilihat dalam 2 prespekif yaitu kebudayaan yang berlaku pada saat ini dan tinggalan atau produk kebudayaan pada masa lampau.

Menjaga keanekaragaman budaya
Dalam konteks masa kini, kekayaan kebudayaan akan banyak berkaitan dengan produk-produk kebudayaan yang berkaitan 3 wujud kebudayaan yaitu pengetahuan budaya, perilaku budaya atau praktek-praktek budaya yang masih berlaku, dan produk fisik kebudayaan yang berwujud artefak atau banguna. Beberapa hal yang berkaitan dengan 3 wujud kebudayaan tersebut yang dapat dilihat adalah antara lain adalah produk kesenian dan sastra, tradisi, gaya hidup, sistem nilai, dan sistem kepercayaan. Keragaman budaya dalam konteks studi ini lebih banyak diartikan sebagai produk atau hasil kebudayaan yang ada pada kini. Dalam konteks masyarakat yang multikultur, keberadaan keragaman kebudayaan adalah suatu yang harus dijaga dan dihormati keberadaannya. Keragaman budaya adalah memotong perbedaan budaya dari kelompok-kelompok masyarakat yang hidup di Indonesia. Jika kita merujuk kepada konvensi UNESCO 2005 (Convention on The Protection and Promotion of The Diversity of Cultural Expressions) tentang keragaman budaya atau “cultural diversity”, cultural diversity diartikan sebagai kekayaan budaya yang dilihat sebagai cara yang ada dalam kebudayaan kelompok atau masyarakat untuk mengungkapkan ekspresinya. Hal ini tidak hanya berkaitan dalam keragaman budaya yang menjadi kebudayaan latar belakangnya, namun juga variasi cara dalam penciptaan artistik, produksi, disseminasi, distribusi dan penghayatannya, apapun makna dan teknologi yang digunakannya. Atau diistilahkan oleh Unesco dalam dokumen konvensi UNESCO 2005 sebagai “Ekpresi budaya” (cultural expression). Isi dari keragaman budaya tersebut akan mengacu kepada makna simbolik, dimensi artistik, dan nilai-nilai budaya yang melatarbelakanginya.
Dalam konteks ini pengetahuan budaya akan berisi tentang simbol-simbol pengetahuan yang digunakan oleh masyarakat pemiliknya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungannya. Pengetahuan budaya biasanya akan berwujud nilai-nilai budaya suku bangsa dan nilai budaya bangsa Indonesia, dimana didalamnya berisi kearifan-kearifan lokal kebudayaan lokal dan suku bangsa setempat. Kearifan lokal tersebut berupa nilai-nilai budaya lokal yang tercerminkan dalam tradisi upacara-upacara tradisional dan karya seni kelompok suku bangsa dan masyarakat adat yang ada di nusantara. Sedangkan tingkah laku budaya berkaitan dengan tingkah laku atau tindakan-tindakan yang bersumber dari nilai-nilai budaya yang ada. Bentuk tingkah laku budaya tersebut bisa dirupakan dalam bentuk tingkah laku sehari-hari, pola interaksi, kegiatan subsisten masyarakat, dan sebagainya. Atau bisa kita sebut sebagai aktivitas budaya. Dalam artefak budaya, kearifan lokal bangsa Indonesia diwujudkan dalam karya-karya seni rupa atau benda budaya (cagar budaya). Jika kita melihat penjelasan diatas maka sebenarnya kekayaan Indonesia mempunyai bentuk yang beragam. Tidak hanya beragam dari bentuknya namun juga menyangkut asalnya. Keragaman budaya adalah sesungguhnya kekayaan budaya bangsa Indonesia.

sumber :  http://prasetijo.wordpress.com/2009/07/24/keragaman-budaya-indonesia/